Mengukur kesiapan orang tua untuk menerapkan metode homeschooling kepada anak bisa dilakukan untuk sejumlah pertanyaan verifikasi berikut ini.
Belakangan metode homeschooling banyak digemari para orang tua karena fleksibilitasnya serta sifatnya yang customised dan kontekstual. Menurut Yulianti Hendra, salah satu penulis bukuHome Learning: Belajar Seru Tanpa Batas, ketiga alasan itulah yang sering mendasari orang tua akhirnya memilih jalur homeschooling.
Homeschooling ibarat baju taylormade, sesuai ukuran atau kesukaan anak. Namun mutunya tergantung pembuatnya,” imbuhnya ketika diwawancara via ponsel beberapa waktu lalu.
Karena mutunya sangat tergantung pembuatnya, maka ada baiknya orang tua mengukur kesiapannya sebagai penanggung jawab utama atau “kepala sekolah rumah”. Jangan sampai, sambung Yulianti, orang tua sekadar memindahkan sekolah ke rumah sehingga manfaat dari homeschooling tidak dirasakan anak, yang ada justru frustasi. “Baik anaknya maupun orang tuanya.
Maka bersama kedua temannya, Natalia Ridwan dan Ning Nathan, Yulianti membuat buku tentang homeschooling. Bahkan mereka menggunakan istilah home learning karena menyadari sekolah berbasis rumah yang dikelola secara mandiri oleh orang tua bukanlah sekadar akademik tapi juga keseluruhan hidup.
Jadi secara sadar orang tua juga harus ikut belajar. “Karena learning is not teaching, jadi proses belajar tidak akan pernah ada tamatnya.
Agar orang tua semakin siap menerapkan metode <home schooling, Yulianti menyarankan untuk menjawab serta merenungkan 5 pertanyaan berikut ini:Apakah saya bisa mengutamakan atau fleksibel mengatur waktu untuk anak-anak saya? Apakah saya merasa lebih mencintai dan memahami anak saya daripada orang lain atau guru di sekolah?
Apakah saya tidak ingin kehilangan masa-masa bersama anak saya dan menyaksikan anak bertumbuh? Apakah saya ingin belajar kehidupan bersama anak saya dan lebih mementingkan proses daripada hasil?
Apakah saya ingin lebih fokus menanamkan nilai-nilai, karakter-karakter, dan kebiasaan-kebiasaan yang baik pada anak saya?” Yang juga harus dipahami oleh orang tua adalah homeschooling bukan tujuan akhir, melainkan proses yang membutuhkan keterbukaan dan kemauan belajar, tidak terkecuali orang tua sebagai fasilitator belajar anak-anaknya.
6 Faktor Keberhasilan Homeschooling
Lantas, bagaimanakah membuat homeschooling sebagai proses belajar yang optimal mengembangkan potensi anak? Dalam bukunya, ketiga penulis itu menyebutkan setidaknya ada 6 faktor yang bisa dilakukan orang tua untuk mewujudkannya, yaitu:
1. Realistis
Di awal menjalankan homeschooling, orang tua kurang memahami bagaimana gaya belajar anak dan terlanjur memberikan target yang tinggi karena konsepnya masih sekadar memindahkan sekolah ke rumah. Hal ini wajar terjadi, tapi ingatlah bahwa tujuan mendidik anak adalah untuk mengoptimalkan potensi mereka, apapun itu.
Ambillah waktu yang cukup untuk mengenali anak, serta jangan bebankan anak dengan ambisi pribadi orang tua. Butuh waktu dan kesabaran untuk menilai pencapaian homeschooling. Karena itu jangan mengubah kurikulum terlalu sering, yang justru membuat anak butuh waktu untuk beradaptasi.
2. Komitmen dan tanggung jawab
Meski saat ini sudah banyak orang tua yang menerapkan homeschooling pada anak-anaknya, tapi metode ini masih dilihat di luar kebiasaan atau melawan arus. Jadi, dibutuhkan komitmen serta tanggung jawab untuk menjalaninya.
Homeschooling bukan untuk semua orang, karena setiap keluarga punya kondisi yang berbeda-beda. Tapi metode ini akan lebih mudah dijalankan apabila menjadi gaya hidup dalam keluarga, bukan sekadar pilihan metode pendidikan.
3. Jangan terlalu overprotective dan over controlling
Karena fasilitator home schooling adalah orang tua, sering kali tanpa disadari orang tua menjadi begitu over protective (melindungi) dan over controlling (mengatur) anaknya. Alhasil, anak jadi merasa dibatasi sehingga kemerdekaan untuk belajar dan bertumbuh pun tidak terealisasi. Dampaknya, anak jadi begitu bergantung pada orang tua sehingga tak mampu menyelesaikan masalah sosial.
4. Membentuk sistem pendukung
Sebelum melakukan homeschooling, lakukan sharing visi tentang pendidikan anak dengan pasangan. Sebab keberhasilan homeschooling sangat dipengaruhi oleh sistem pendukung yang solid, terutama dari pasangan. Selain pasangan, sistem pendukung yang ikut berkontribusi adalah lingkungan terdekat dan komunitas yang memiliki visi pendidikan yang sama.
Jadi, bertemu serta bertukar pikiran dengan sesama pelaku homeschooler bisa mengurangi beban ketika menghadapi masalah. Plus, komunitas juga menjadi media anak untuk bersosialisasi dengan teman-teman yang menjalankan homeschooling.
5. Manajemen homeschooling
Menjalankan homeschooling memang memerlukan perencanaan yang matang tapi fleksibilitas tetap harus dijaga. Situasi dan kondisi tidak konstan, anak berkembang begitu juga dengan orang tua. Artinya, jangan merasa gagal jika melakukan perbaikan di sana-sini selama menjalankan homeschooling.
Jika menemukan sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, ingatlah itu bukan kegagalan melainkan pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Sebaiknya, berikan materi pembelajaran secara berkala, mingguan atau bulanan. Catat semua hasil pembelajarannya baik secara manual atau digital agar hasil belajar anak bisa tersimpan dengan baik.
6. Menjaga keseimbangan
Ingatlah di luar tanggung jawab orang tua sebagai fasilitator anak, Anda tetap butuh me-time. Agar suasana belajar tetap kondusif dan menyenangkan, ketika orang tua dan anak menemukan kejenuhan belajar di rumah, jangan ragu untuk memberikan kegiatan-kegiatan ringan seperti menjelajahi taman, memasak bersama, atau sekadar liburan bersama.
Baca juga: BACA JUGA: RAGAM PANTANGAN SAAT HAMIL YANG HARUS BUNDA HINDARI
Bagaimana, Toppers, sudah memutuskan anak untuk lanjut pendidikan homeschooling? Pastikan untuk melakukan komunikasi secara dua arah dengan anak, juga tidak lupa untuk berdiskusi bersama pasangan sebelum menentukan pilihan pendidikan terbaik untuk anak.
