Kami HANYA menjual buku2 terbitan Yayasan Cipta Loka Caraka (CLC).
Pemesanan hanya diproses pada Hari kerja SENIN-JUMAT. Orderan yang masuk setelah jam 14.00 akan diproses esok harinya. **********************
halaman: 136 ukuran : 18 x 25 cm harga : Rp 75.000,-
Ilustrasi sampul: Gedung Kunstkring (1913) pada entré Gondangdia waktu belum dirusak tangan jahil (1999). – Bawah: Tosariweg (1937) kini Jl. Kusumaatmaja; suatu vila luks di Jl. Diponegoro; interior residensi seorang duta besar di Jl. Diponegoro; jendela gaya Art Deco pada pintu masuk suatu rumah di Jl. Kusumaatmaja; Gereja Teresia (1934) dan gedung BAPPENAS (1926)
Kami tinggal di Menteng sejak akhir tahun 1960-an: Pada waktu itu jalan-jalan utama pun banyak lobang, lampu jalanan sebagian rusak. Jl. Cokroaminoto belum ramai, karena berakhir di Kali Banjir dan Bioskop Menteng termasuk bioskop kelas satu di Jakarta. Kavaleri bermarkas di Jl. Gereja Teresia dan satuan tentara lain di Jl. Mangunsarkoro. Waktu itu Jenderal Soeharto tinggal di bundaran Jl. H.A. Salim dan Jl. Cendana masih sepi. Mesjid Sunda Kelapa belum dibangun dan pengunjung Gereja HKBP belum memadati Jl. Jambu. Jalan-jalan di sekitar Gereja Teresia dan Sarinah (yang belum selesai dibangun) sering dilanda banjir besar, sehingga banyak mobil mogok. Menteng – selain bulevar Jl. Imam Bonjol-Diponegoro – merupakan kawasan pemukiman yang tenang. Sangat nyaman duduk di teras di muka rumah pada sore dan malam hari sambil memandangi jalan melalui pagar hijau yang rendah, membaca koran atau menerima tamu. Suasana sepi, kecuali bunyi tik-tok penjual bakso, teriakan ‘Sate!’ dan kencrang-kencring tukang pijat yang lewat. Becak dengan giring-giring membawa orang ke tempat tujuan. Di beberapa kios lama di persimpangan jalan dijual minuman dan kebutuhan pokok rumahtangga. Toko Li baru berubah menjadi Toserba Gelael pertama, dan Lapangan Persidja belum di kelilingi tembok tinggi. Menteng ini hilang …