Ketika tengah mengemban amanah sebagai pengasuh Tebuireng, Kiai Choliq pernah mengajak putranya, Gus Hakam yang tengah duduk di kelas 4 MI, untuk mendirikan shalat berjamaah di ndalem kasepuhan Pesantren Tebuireng. Namun ada yang aneh, keduanya shalat saling membelakangi: Kiai Choliq menghadap kiblat dan Gus Hakam membelakangi kiblat. Gus Hakam yakin bahwa beliau menghadap kearah kibalt sesuai keyakinannya. Beliau bersandar pada kaidah fiqih: Keyakinan tidak dapat digugurkan oleh keraguan
Setelah salam, Kiai Choliq terkejut melihat putranya shalat dengan membelakangi kiblat. Perdebatan terjadi di antara bapak dan anak ini. Gus Hakam tetap ngotot bahwa arah kiblat yang beliau yakini benar.
Kemudian Kiai Choliq shalat dua rokaat dan memanjatkan doa. Lalu beliau memerintahkan Gus Hakam untuk mengulangi shalatnya di atas sajadah sang ayah. Tatkala Gus Hakam tengah takbiratul ihram di atas sajadah sang ayah, beliau melihat Kabah berada tepat di depan mata. Akhirnya, Gus Hakam mengakui bahwa arah kiblat yang didawuhkan ayahnya adalah benar.