Atur jumlah dan catatan
Stok Total: 125
Subtotal
Rp750.000
Terjemah Tafsir Marah Labid Syekh Nawawi Banten 6 Jilid
Rp750.000
- Kondisi: Baru
- Min. Pemesanan: 1 Buah
- Etalase: Semua Etalase
Terjemah Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi al Bantani 30 Juz Original
Bagi kalangan pesantren tentu tidak asing dengan Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir karangan Begawan Ulama Jawa cum Internasional yaitu Syekh Nawawi al-Bantany (w. 1316 H/ 1897 M). Syekh Nawawi menamai kitab tafsirnya dengan Marah Labid li Kasyf ma’na Qur’an Majid atau yang dikenal dengan Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil.
Tafsir ini sangat istimewa karena merupakan tafsir Al-Quran pertama yang ditulis secara lengkap dengan berbahasa Arab oleh ulama asal Nusantara. Selain itu, tafsir ini tercatat sebagai salah satu karya tafsir pada abad ke-19 di dunia Islam, selain Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari Mesir.
Latar Belakang dan Tujuan Penulisan
Mustamin Arsyad dalam Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi wa Juhuduhu fî al-Tafsir al-Qur’an al-Karim fî Kitabihi “al-Tafsir al-Munir li Ma`alim al-Tanzill” mengatakan bahwa cetakan pertama kitab ini bernama Marah Labid dan cetakan keduanya bernama Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil. Kitab tafsir ini dicetak pertama kali di penerbit Abd al-Razzaq, Kairo 1305 H, lalu di penerbit Musthafa al-Bab al-Halabi, Kairo 1355 H. Kemudian diterbitkan lagi di Singapura oleh penerbit al-Haramain hingga empat kali cetak.
Selanjutnya di Indonesia sendiri, kitab ini diterbitkan oleh penerbit Usaha Keluarga, Semarang. Lantas diterbikan pula oleh penerbit al-Maimanah, Arab Saudi dengan nama Tafsir al-Nawawi dalam dua jilid. Di samping itu, pada tahun 1994 kitab ini dicetak kembali oleh penerbit Dar al-Fikr, Beirut dengan nama al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil.
Tafsir ini diberi judul dengan Marah Labid, penamaan ini tidak secara eksplisit diutarakan oleh Syekh Nawawi, akan tetapi jika ditelisik dari sudut semantik, Marah berasal dari kata raha-yaruhu-rawah, berarti datang dan pergi di sore hari untuk berkemas dan mempersiapkan kembali berangkat. Marah juga menunjukkan tempat (ism makan) dari kata tersebut bermakna al-maudhi’ yaruhu li qaum minhu aw ilaih (tempat istirahat bagi sekelompok orang yang darinya mereka pergi dan kepadanya mereka kembali).
Sedangkan Labid mempunyai padanan kata dengan labida-yalbadu (berkumpul, mengitari sesuatu). Dalam istilah zoologi (ilmu hewan), labid semakna dengan al-Libadi (sejenis burung yang gemar berada di daratan dan hanya terbang bila diterbangkan). Jadi, secara harfiah “Marah Labid” bemakna Sarang Burung atau istilah lainnya “tempat istirahat yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”.
Dalam konteks ini nampaknya Syekh Nawawi hendak menjadikan kitab tafsirnya sebagai rujukan atau preferensi yang menyenangkan bagi umat Islam agar tidak pernah meninggalkan Al-Quran, dan ingin memberikan jalan keluar bagi masyarakat Muslim yang masih mempertahankan pemahaman tradisional (klasik) dalam memahami Al-Quran. Tafsir ini ditulis sebagai jawaban atas permintaan beberapa teman beliau agar berkenan menulis sebuah kitab tafsir sewaktu berada di Makkah.
Meski sebenarnya ragu untuk menulisnya karena khawatir termasuk golongan yang disabdakan Nabi saw, من قال ﰲ القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ (siapa yang menafsirkan Al-Quran (hanya) dengan akalnya maka dia telah melakukan kesalahan sekalipun benar tafsirannya), namun setelah menimbang-nimbang dengan seksama, dan penuh ketawadhu’an, beliau memutuskan untuk menulis kitab tafsir ini tanpa tendensi apapun, lebih-lebih berambisi untuk hal yang tidak baik.
Karena itu, Syekh Nawawi hanya akan mengikuti yang dicontohkan oleh para pendahulunya dalam menafsirkan Al-Quran, seperti beliau merujuk pada standar kitab tafsir yang menurutnya otoritatif, yaitu al-Futuhat al-Iahiyyah karya Sulaiman al-Jamal (W. 1790 M), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 1209 M), al-Siraj al-Munir karya al-Syirbini (w. 1570 M), Tanwir al-Miqbas karya Fairuzabadi (w. 1415 M) dan Irsyad al-‘Aql al-Salim karya Abu Su’ud (w. 1574 M).
Selain lima kitab tafsir di atas, Mustamin dalam Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi wa Juhuduhu fî al-Tafsir al-Qur’an al-Karim fî Kitabihi “al-Tafsir al-Munir li Ma`alim al-Tanzill” melihat masih ada beberapa rujukan lain yang dipakai Syekh Nawawi di antaranya, Jami’ al-Bayan karya At-Thabary (w. 310 H), Tafsir Al-Quran al-Azhim karya Ibnu Katsir (w. 774 H), Al-Durr al-Mantsur karya al-Suyuthi (w. 911 H), dan al-Jami li Ahkam al-Quran karya Al-Qurthuby (w. 671 H).
Metode Penafsiran
Marah Labid termasuk dalam tafsir metode ijmali, di mana Syekh Nawawi berusaha meringkas mungkin akan tetapi juga mencakup banyak hal dengan menggabungkan dan menautkan pendapat-pendapat dalam bahasa yang ringkas, sederhana dan mudah dipahami. Pada awal Surat Yusuf, misalnya,
سورة يوسف عليه السﻼم مكية وهي مائة واحدي عشرة آية وألف وتسعمائة وست وتسعون كلمة وسبع آﻻف ومائة وستة وسبعون حرفا )بسم اﷲ الرﲪن الرحيم (وعن ابن عباس أنه قال سألت اليهود النﱯ صلي اﷲ عليه وسلم فقالوا حدثنا عن أمر يعقوب وولده وشأن يوسف فنزلت هذه السورة )الر تلك آيات الكتاب اﳌبﲔ (اي تلك ا
Bagi kalangan pesantren tentu tidak asing dengan Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir karangan Begawan Ulama Jawa cum Internasional yaitu Syekh Nawawi al-Bantany (w. 1316 H/ 1897 M). Syekh Nawawi menamai kitab tafsirnya dengan Marah Labid li Kasyf ma’na Qur’an Majid atau yang dikenal dengan Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil.
Tafsir ini sangat istimewa karena merupakan tafsir Al-Quran pertama yang ditulis secara lengkap dengan berbahasa Arab oleh ulama asal Nusantara. Selain itu, tafsir ini tercatat sebagai salah satu karya tafsir pada abad ke-19 di dunia Islam, selain Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari Mesir.
Latar Belakang dan Tujuan Penulisan
Mustamin Arsyad dalam Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi wa Juhuduhu fî al-Tafsir al-Qur’an al-Karim fî Kitabihi “al-Tafsir al-Munir li Ma`alim al-Tanzill” mengatakan bahwa cetakan pertama kitab ini bernama Marah Labid dan cetakan keduanya bernama Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil. Kitab tafsir ini dicetak pertama kali di penerbit Abd al-Razzaq, Kairo 1305 H, lalu di penerbit Musthafa al-Bab al-Halabi, Kairo 1355 H. Kemudian diterbitkan lagi di Singapura oleh penerbit al-Haramain hingga empat kali cetak.
Selanjutnya di Indonesia sendiri, kitab ini diterbitkan oleh penerbit Usaha Keluarga, Semarang. Lantas diterbikan pula oleh penerbit al-Maimanah, Arab Saudi dengan nama Tafsir al-Nawawi dalam dua jilid. Di samping itu, pada tahun 1994 kitab ini dicetak kembali oleh penerbit Dar al-Fikr, Beirut dengan nama al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil.
Tafsir ini diberi judul dengan Marah Labid, penamaan ini tidak secara eksplisit diutarakan oleh Syekh Nawawi, akan tetapi jika ditelisik dari sudut semantik, Marah berasal dari kata raha-yaruhu-rawah, berarti datang dan pergi di sore hari untuk berkemas dan mempersiapkan kembali berangkat. Marah juga menunjukkan tempat (ism makan) dari kata tersebut bermakna al-maudhi’ yaruhu li qaum minhu aw ilaih (tempat istirahat bagi sekelompok orang yang darinya mereka pergi dan kepadanya mereka kembali).
Sedangkan Labid mempunyai padanan kata dengan labida-yalbadu (berkumpul, mengitari sesuatu). Dalam istilah zoologi (ilmu hewan), labid semakna dengan al-Libadi (sejenis burung yang gemar berada di daratan dan hanya terbang bila diterbangkan). Jadi, secara harfiah “Marah Labid” bemakna Sarang Burung atau istilah lainnya “tempat istirahat yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”.
Dalam konteks ini nampaknya Syekh Nawawi hendak menjadikan kitab tafsirnya sebagai rujukan atau preferensi yang menyenangkan bagi umat Islam agar tidak pernah meninggalkan Al-Quran, dan ingin memberikan jalan keluar bagi masyarakat Muslim yang masih mempertahankan pemahaman tradisional (klasik) dalam memahami Al-Quran. Tafsir ini ditulis sebagai jawaban atas permintaan beberapa teman beliau agar berkenan menulis sebuah kitab tafsir sewaktu berada di Makkah.
Meski sebenarnya ragu untuk menulisnya karena khawatir termasuk golongan yang disabdakan Nabi saw, من قال ﰲ القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ (siapa yang menafsirkan Al-Quran (hanya) dengan akalnya maka dia telah melakukan kesalahan sekalipun benar tafsirannya), namun setelah menimbang-nimbang dengan seksama, dan penuh ketawadhu’an, beliau memutuskan untuk menulis kitab tafsir ini tanpa tendensi apapun, lebih-lebih berambisi untuk hal yang tidak baik.
Karena itu, Syekh Nawawi hanya akan mengikuti yang dicontohkan oleh para pendahulunya dalam menafsirkan Al-Quran, seperti beliau merujuk pada standar kitab tafsir yang menurutnya otoritatif, yaitu al-Futuhat al-Iahiyyah karya Sulaiman al-Jamal (W. 1790 M), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 1209 M), al-Siraj al-Munir karya al-Syirbini (w. 1570 M), Tanwir al-Miqbas karya Fairuzabadi (w. 1415 M) dan Irsyad al-‘Aql al-Salim karya Abu Su’ud (w. 1574 M).
Selain lima kitab tafsir di atas, Mustamin dalam Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi wa Juhuduhu fî al-Tafsir al-Qur’an al-Karim fî Kitabihi “al-Tafsir al-Munir li Ma`alim al-Tanzill” melihat masih ada beberapa rujukan lain yang dipakai Syekh Nawawi di antaranya, Jami’ al-Bayan karya At-Thabary (w. 310 H), Tafsir Al-Quran al-Azhim karya Ibnu Katsir (w. 774 H), Al-Durr al-Mantsur karya al-Suyuthi (w. 911 H), dan al-Jami li Ahkam al-Quran karya Al-Qurthuby (w. 671 H).
Metode Penafsiran
Marah Labid termasuk dalam tafsir metode ijmali, di mana Syekh Nawawi berusaha meringkas mungkin akan tetapi juga mencakup banyak hal dengan menggabungkan dan menautkan pendapat-pendapat dalam bahasa yang ringkas, sederhana dan mudah dipahami. Pada awal Surat Yusuf, misalnya,
سورة يوسف عليه السﻼم مكية وهي مائة واحدي عشرة آية وألف وتسعمائة وست وتسعون كلمة وسبع آﻻف ومائة وستة وسبعون حرفا )بسم اﷲ الرﲪن الرحيم (وعن ابن عباس أنه قال سألت اليهود النﱯ صلي اﷲ عليه وسلم فقالوا حدثنا عن أمر يعقوب وولده وشأن يوسف فنزلت هذه السورة )الر تلك آيات الكتاب اﳌبﲔ (اي تلك ا
Ada masalah dengan produk ini?
ULASAN PEMBELI

Belum ada ulasan untuk produk ini
Beli produk ini dan jadilah yang pertama memberikan ulasan