Socrates, Plato, dan Aristoteles memandang retorika dan puisi sebagai alat yang terlalu sering digunakan untuk memanipulasi orang lain melalui manipulasi emosi dan pengaburan fakta. Mereka mendakwa para sofis, termasuk Gorgias dan Isocrates, sebagai para pengguna manipulasi jenis ini, sedangkan para filsuf merupakan pengguna retorika yang didasarkan pada filsafat dan upaya-upaya pencerahan. Salah satu kontribusi terpenting Aristoteles dalam buku ini adalah ia mengidentifikasi retorika sebagai salah satu dari tiga elemen kunci dalam filsafat, bersanding dengan logika dan dialektika.
Aristoteles, melalui buku ini, memberikan dasar-dasar sistem retorika yang berfungsi sebagai batu pijakan bagi perkembangan teori retorika dari zaman kuno sampai zaman modern, sehingga buku ini dianggap sebagai karya tunggal yang paling penting dalam seni persuasi. Gross dan Walzer, sebagaimana Alfred North Whitehead, setuju bahwa semua filsafat Barat adalah catatan kakibagi Plato dan semua teori retorika hanyalah serangkaian tanggapan terhadap isuisu yang diangkat dalam Retorika.
Judul : Retorika: Seni Berbicara
Penulis : Aristoteles
Penerjemah : Dedeh Sry Handayani
Ukuran : 14 x 20 cm
Halaman : 416 hlm
ISBN : 978-602-6651-98-3
Bagi Aristoteles, kesimpulan yang logis itu sangat penting secara psikologis. Menurutnya, ketika premis dari sebuah kesimpulan itu dibuat untuk membentuk opini tertentu, maka jiwa manusia harus mengiyakannya. Konsepsi yang membedakan logika Aristoteles dengan logika modern, di mana aturan inferensi dianggap mengizinkan orang yang bernalar untuk menarik kesimpulan tertentu, tapi tidak secara psikologis memaksanya untuk melakukan hal itu.
Dijelaskan pula tentang proposisi afirmatif dengan negatif yang memiliki subjek dan predikat yang sama bisa saling bertentangan. Aristoteles mengamati bahwa ketika dua proposisi itu saling terkait, maka mereka tidak bisa menjadi benar secara bersamaan, tetapi bisa menjadi tidak benar secara bersamaan. Inilah yang disebut pertentangan oleh Aristoteles.
Selain itu, Aristoteles juga menjelaskan tentang silogisme, yang menurutnya adalah wacana yang mana di dalamnya, hal-hal tertentu dinyatakan selain dari apa yang dinyatakan dengan mengikuti keharusan dari keberadaannya. Silogisme ala Aristoteles ini beranggapan bahwa bila A dan C itu terkait dengan B dengan cara tertentu dalam premisnya, maka mereka akan saling terkait dalam kesimpulannya.
Risalah retorika karya Aristoteles ini mempunyai pengaruh yang tak tertandingi terhadap perkembangan seni retorika, dimana didalamnya membahas bagaimana membangun kemampuan berbicara, berpidato, dan menulis yang efektif sebagai dasar seni persuasi.
Menurut Aristoteles, keberhasilannya dalam meyakinkan dan mempengaruhi orang lain ini tergantung pada kualitas orator dalam menyampaikan bukti (logos), membangun dan mempengaruhi emosi (pathos), dan kredibilitas yang dimiliki orator (ethos). Inilah salah satu alasan, banyak para filsuf dan guru retorika terkenal dari Romawi seperti Cicero dan Quintilian, sering menggunakan unsur-unsur yang berasal dari teori retorika ini.
Banyak konsep dan gagasan yang dibahas dalam buku ini sehingga tulisan-tulisannya dianggap sebagai bagian yang terintegrasi dengan baik dari proses persuasi bahkan seringkali menjadi rujukan penting bagi teori argumentasi modern. Pembahasan tentang nafsu dan emosi dipandang sebagai perwujudan contoh awal dari kisah-kisah kognitif dan berbasis penilaian emosi oleh para filsuf dan cendikiawan. Gagasan yang paling menonjol dalam karyanya adalah pada saat membahas dialektika, dimana tampaknya dialektika dan retorika sangat bertolak belakang. Dimana dialektika bertujuan untuk kebenaran sedangkan retorika bertujuan melakukan persuasi tanpa etika dan pengetahuan. Aristoteles berhasil menggabungkan keduanya hingga selaras dan tercipta gaya penulisan pidato kontemporer yang bertumpu pada dialektika dengan pengetahuan yang baik tentang pokok bahasan maupun penguasaan suasana audiens.