Tak Lagi Mendewakan Growth Diskusi tentang nasib startup di Indonesia belum usai hingga hari. Ada pro dan kontra dalam melihat fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah startup di Indonesia. Di satu sisi, fenomena tersebut dianggap sebagai indikasi terjadinya bubble burst. Di sisi lain, itu merupakan hal lumrah sebagai bentuk menyelamatkan bisnis dengan efisiensi. Meski demikian, melihat kondisi tersebut, saat ini menjadi saat tepat bagi ekosistem startup di Indonesia melangkah ke fase pendewasaan. Fenomena tadi merupakan salah satu bentuk koreksi terhadap startup di Indonesia. Salah satu koreksinya adalah tidak menjadikan growth sebagai satu-satunya matriks kesuksesan sebuah startup. Entah itu pertumbuhan jumlah pengguna, volume karyawan, pendapatan, gross merchandise value (GMV), dan sebagainya. Matriks tersebut memang tetap diperlukan, namun tidaklah mencukupi. Startup perlu juga menyusun path of profitability, memikirkan burn rate, cost, return of investment, dan sebagainya. Artinya, mantra growth at all cost alias bakar duit demi meraih pertumbuhan, dari mengakuisisi user dan merekrut karyawan sebanyak-banyaknya hingga promosi gede-gedean, kurang relevan lagi. Berpijak dari kondisi sekarang, perlu sekali bagi startup untuk mulai membangun keseimbangan antara growth dan cash flow. Tujuannya, saat startup berada di dalam kondisi sulit dan tak terduga, startup itu masih bisa menjalankan bisnisnya dengan baik dan tidak kelabakan karena cash flow terjun bebas akibat jor-joran dalam mengejar pertumbuhan. Pada akhirnya, tidak ada satu pakem yang bisa dipakai untuk semua. Artinya, harus disesuaikan dengan kondisi dan karakter masing-masing startup. Tapi, yang jelas, tidak perlu lagi mendewakan growth, tanpa memiliki path of sustainability. Itu saja dan selamat membaca.