Gara-gara nyanyian masa kecil, “Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali.” bagi gue gunung itu tinggi banget. Setelah dewasa, gue jadi mikir, “Seberapa tinggi sih?”
Lalu gue bersama kedua sahabat gue, Jempoy dan Bibir, mutusin naik gunung bareng. Sembilan jam perjalanan di kereta api, kaki gue pegel duduk. Gue milih tiduran di bawah kursi kereta. Ada yang negur gue.
“Mas, Fico?! Yang stand up comedy, kan? Yang di film Comic 8?” tanya dia malu-malu.
“Eh, umm, iya Mbak.”
“Kok, tidur di bawah?” tanya dia lagi, kali ini raut wajahnya heran.
“Hehe, iya Mbak. Mau nempel di atas tapi bukan Spiderman,”
Oke, katakanlah gue artis papan atas. Tapi, gue tetap memilih tidur di bawah. Rasanya lebih nikmat.
Nyatanya puncak karier dan puncak gunung sama-sama nggak ada apa-apanya. Gue hanya bisa melihat awan yang jauh lebih tinggi dan nggak tergapai.