Setelah Budhojawi dilarang pemerintah pasca pembersihan komunis tahun 1965-1966, banyak penganutnya yang masuk Hindu dan Buddha. Sementara komunitas Mbah Kerto yang tinggal di tepi hutan dan jauh dari kota hingga saat ini tetap mempertahankan ciri-ciri Budhojawi, yaitu: memasang simbol senjata cakra di atap wihara Theravada, namun dengan pengeras suara di bawahnya.
Kaum prianya mempertahankan identitas blangkon (yang ternyata identik dengan tidak sunat) dan secara internal tetap mendaras mantra-mantra Hong Wilaheng (dalam Bahasa Jawa) walaupun secara sosial berdoa ala Theravada (dalam Bahasa Pali).