Kepayang atau keluak (Pangium edule Reinw. ex Blume; suku Achariaceae, dulu dimasukkan dalam Flacourtiaceae) adalah pohon yang tumbuh liar atau setengah liar penghasil bahan bumbu masak sejumlah masakan Nusantara, seperti rawon. Orang Sunda menyebutnya picung atau pucung, orang Jawa menyebutnya pucung, kluwak, atau kluwek,[1], di Toraja disebut pamarrasan, dan di Minangkabau disebut simanguang. Biji keluak dipakai sebagai bumbu dapur masakan Indonesia yang memberi warna coklat kehitaman pada rawon, daging bumbu keluak, brongkos, serta sup konro. Zat warna tersebut dapat menjadi pengganti pewarna sintetis seperti Chocolate Brown FH dan Chocolate Brown HT. Selain itu, bijinya juga memiliki salut biji yang bisa dimanfaatkan. Bila dimakan dalam jumlah tertentu dapat menyebabkan mabuk karena beracun sianogenik. Tanaman kepayang mengandung komponen glikosida sianogenik, yang dapat dengan cepat terhidrolisis menjadi gula, aldehida/keton, dan asam sianida.[2] Glikosida sianogenik dapat ditemukan pada daun, kulit batang, dan biji tanaman kepayang.[3] Racun pada biji kepayang dapat digunakan sebagai racun untuk mata panah. Bijinya aman diolah untuk makanan bila telah direbus dan direndam terlebih dahulu. Untuk memunculkan warna hitam, biji yang telah direbus dan direndam akan dipendam dalam tanah (setelah dibungkus daun pisang) selama beberapa hari. Di samping glikosida sianogenik, terdapat pula beberapa zat lain yang tergandung dalam keluak, seperti asam hidnokarpat, asam khaulmograt, asam glorat, dan tanin.[4]Kayu tanaman ini juga bernilai ekonomi, dengan berat jenis 450 – 1000 kg.m-3. Ungkapan #34;mabuk kepayang #34; dalam bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang sedang jatuh cinta sehingga tidak mampu berpikir secara logis, seakan-akan habis memakan kepayang