Yudhistira ANM Massardi datang ke Jakarta setelah menamatkan SMA-nya di Taman Siswa Yogyakarta pada 1972, hidup menggelandang dan memanjangkan rambut bersama kembarannya Noorca Massardi selama beberapa tahun pertama di ibukota, pada malam hari tidur di mobil-mobil bagus yang diparkir di pelataran Toserba Sarinah demi mendapatkan upah penjagaan dari pemilik mobil, dan pada siang hari menghabiskan waktu di gelanggang remaja Bulungan. Ia menerbitkan tulisan pertamanya ketika kelas dua SMP, sebuah cerpen berjudul ‘Aku Cinta Padamu’, dan terus merawat minatnya terhadap tulis-menulis, mengarahkan perhatiannya pada apa saja yang membuatnya resah, dan menjadikan puisi dan prosanya sebagai senjata untuk mempersoalkan tabu dan kemapanan dan setiap jenis kejanggalan yang ia jumpai di sekitarnya. Ia mengkritik, dengan gaya slengekan, segala yang menurutnya keliru. Pada tahun yang sama dengan kedatangannya ke Jakarta, gairah anti-kemapanan muncul di Bandung melalui puisi-puisi mbeling di majalah Aktuil dan Pop, dengan Remy Sylado, redaktur di dua majalah itu, sebagai tokoh utamanya. Dengan puisi mbeling, orang membebaskan diri dari kungkungan puisi lirik yang ditulis secara serius dan ditempatkan terlalu tinggi. Bagi Remy, orang tidak perlu terlalu serius dalam menulis puisi, dan tidak perlu juga menempatkan puisi sebegitu tingginya. Puisi boleh tidak indah, ditulis dengan bahasa lugu dan pilihan kata sehari-hari, dengan kenakalam, dan dengan cara jenaka. Jorok pun tidak apa-apa. Maka, begitulah, para penyair mbeling bermunculan untuk menulis segala yang pahit dengan humor dan kenakalan dan ketidakindahan. Mereka mengkritik hipokrisi, meledek penyair tua, memparodikan puisi lain, memelesetkan lagu-lagu cengeng, dan menertawai apa saja yang bisa ditertawai. Yudhis, jiwa muda yang selalu resah, ada dalam arus itu; ia mengkritik represi, ia mengkritik gaya hidup, ia mewakili sikap antagonistik anak-anak muda terhadap generasi tua pembuat kemapanan. Dan ia mempertahankan suara anak muda di dalam tulisan-tulisannya. Novel pertamanya, ‘Arjuna Mencari Cinta’, selain ditaburi dengan kritik-kritik sosial, gugatan terhadap korupsi, dan ledekan terhadap gaya hidup dan mentalitas orang-orang kaya, dalam arti tertentu juga merupakan pembangkangan terhadap wayang. Ia menggunakan nama-nama wayang untuk semua karakter dalam novel itu sembari mengacak-acak watak dan hubungan antarkarakter. Duryudana dan Burisrawa di dalam novelnya adalah ayah Kresna dan Arimbi. Bratasena, yang di dalam cerita wayang adalah putra kedua Pandawa, ia jadikan ayah Arjuna. Apakah ia asal-asalan? Tidak. Ia penyuka komik wayang karya RA Kosasih dan ia tahu karakteristik tokoh-tokoh wayang yang ia acak-acak. Pengacauan hubungan dan karakterisasi yang ia lakukan niscaya akan dirasakan sebagai gangguan bagi orang-orang yang takzim terhadap wayang, terutama di kalangan priyayi Jawa. Yudhis menyadari itu. Ia meninggalkan Subang, tempat kelahirannya, setelah tamat sekolah dasar pada 1966, melanjutkan sekolah di Jogja dan menetap di sana enam tahun sampai tamat SMA. Jogja adalah pusat budaya Jawa, tempat di mana wayang dihayati secara khidmat oleh para priyayi sepuh. Sementara banyak orang melihat Jogja melalui kacamata romantis, Yudhis tidak. Jogja di mata Yudhis, melalui sudut pandang Arjuna dalam novelnya, adalah tempat yang telah banyak berubah: “... sedang mencoba bersolek, dengan gincu yang tak cocok, dengan bedak tanpa selera. Padahal jiwanya tetap saja jiwa yang dulu. Jiwa priyayi yang selalu hadir dengan ironi: blangkon di kepala, dasi di leher, keris di pinggang, samsonite di tangan. Selalu bicara tentang kejayaan Mataram, sambil memimpikan Amsterdam.” Sebelum novel, ia menjadikan dirinya sendiri medium perlawanan—melalui namanya. Teman-teman sekolahnya di Jogja memanggilnya Yan—dari Moelyana—dan ia menjadikan Yan itu Yudhistira Ardi Noegraha. Dalam pandangan priyayi Jawa, yang diikuti juga oleh para kawula alit, wayang adalah sesuatu yang hampir sakral dan menamai anak dengan nama tokoh wayang adalah tabu. Yudhis mengabaikan kesakralan dan melanggar tabu itu. Ia menamai dirinya Yudhistira karena merasa dekat dengan watak Pandawa sulung ini. ‘Arjuna Mencari Cinta’ mendapatkan penghargaan sebagai novel bacaan remaja terbaik 1977 dari Yayasan Buku Utama. Novel itu kemudian difilmkan dan Departemen Penerangan RI menolak nama-nama wayang yang digunakan untuk menamai karakter-karakternya, sehingga judul filmnya hanya ‘Mencari Cinta’. --A.S. Laksana, ”Obituari: Yudhistira Gugat”, Facebook. . . Arjuna Mencari Cinta Yudhistira Anm Massardi Gramedia Pustaka Utama, 2019 460 halaman. . Harga Normal: Rp115.000 . . Asli, original, baru, segel, garansi (fisik buku dan kualitas karya), diskon, gratis ongkir, voucher, cashback, bonus: klip/pouch/bookmark, bubble wrap. . Buku aktif berarti tersedia, langsung klik transaksi untuk proses dan kirim hari ini (same day/instant kirim siang), update resi malam hari.