Suara gending karawitan tengah berpadu dengan suara lelaki yang kini memegang sosok wayang Rama di tangan kanan dan Shinta di tangan kiri. Laki-laki dengan blangkon serta pakaian beskap itu mampu menarik semua pasang mata hanya untuk memperhatikannya saja, tidak untuk hal lain._x000D_
_x000D_
Sorot lampu membuat setiap garis tegas pada wajahnya semakin indah dipandang. Hidung mancung, bibir bersemu merah jambu, alis yang kata orang Jawa nanggal sepisan, terlebih lesung pipit samar yang selalu menjadi bayangan ketika senyumnya terulas._x000D_
_x000D_
Sungguh nikmat Tuhan mana yang kau dustakan._x000D_
_x000D_
dari panggung, selesai Panggil seseorang setelah dia turun membawakan kisah Ramayana. Dia membalikkan badan, menatap gadis dengan pakaian penari Gambyong Pareanom yang kini berdiri di hadapannya._x000D_
_x000D_
"Aksara Satriya Semudra, itu nama saya,” tegas cowok itu, karena tidak suka dipanggil dengan cara seperti yang baru saja dia dengar._x000D_
_x000D_
"Mengapa bukan Rahwana yang menjadi pilihan Shinta? Bukankah Rahwana juga mempunyai cinta yang begitu besar terhadap Shinta?" tanyanya, mengabaikan apa yang baru saja cowok itu ucapkan._x000D_
_x000D_
Aksara tidak langsung menjawab, ia membungkuk mengambil ujung selendang milik perempuan di depannya yang menjuntai menyentuh tanah, lantas menyerahkan pada tangan gadis itu._x000D_
_x000D_
“Ada pertemuan yang menjadi abadi dan ada yang abadi untuk sengaja dipisahkan.”_x000D_
_x000D_
"Abadi untuk dipisahkan? Untuk ap—-"_x000D_
_x000D_
Drrttttt...._x000D_
_x000D_
Ucapan gadis itu menggantung begitu saja saat ponselnya berdering. Melihat nomor kontak yang tidak tersimpan, ia langsung teringat jika memesan paket dan ia pun meminta paket itu dikirim ke SMA Tunas Bangsa._x000D_
_x000D_
“Mbak Milla Arletta, saya sudah di depan gerbang,” ucap seseorang dari sambungan telepon._x000D_