Berusahalah mengontrol emosi agar anak bisa tumbuh kembang dengan melihat contoh terbaik dari orang tuanya.
Sebagai orang tua, kemungkinan besar Anda akan berusaha menyeimbangkan banyak tuntutan berbeda, seperti pekerjaan, tugas rumah tangga, kegiatan anak, dan tanggung jawab lainnya. Ketika Anda lelah dan sedang mendapat banyak tekanan, biasanya akan mudah sekali kehilangan kesabaran dan kemudian menjadi marah.
Apalagi jika anak tidak mau bekerjasama atau terjadi hal-hal yang tak sesuai dengan rencana Anda. Terkadang Anda merasa marah atau kecewa dengan pasangan, tidak sepakat tentang pola asuh anak, kedisiplinan, dan hal-hal semacamnya.
Kekecewaan ini bisa menjadi awal dari konflik rumah tangga, terutama ketika Anda merasa tidak dihargai atau tidak mendapat dukungan dari orang-orang sekitar Anda. Kadang kemarahan atau kegelisahan anak membuat Anda merasa marah pula.
Misalnya, ketika si kecil tantrum dan berkata atau bersikap kasar pada Anda, Anda dapat mudah sekali kehilangan kesabaran hingga menjadi mengeluarkan emosi negatif.
Apalagi jika si kecil memiliki karakter yang keras kepala dan mudah terpicu emosi negatif, mungkin membuat Anda bertanya-tanya, apakah hal yang paling sulit dalam mengatasi kemarahan anak adalah mengatur rasa marah pada diri sendiri?
Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., mengungkapkan, jawabannya bisa ‘ya’ dan bisa juga ‘tidak’. Pasalnya, hal tersebut bergantung pada emosi yang mendominasi Anda. “Kalau misalnya emosi yang mendominasi itu emosi sedih, maka yang paling sulit adalah menangani emosi sedihnya. Tapi, jika emosi yang mendominasi itu marah, merasa bersalah, maka kemungkinan itulah yang paling sulit,” jelas psikolog yang akrab dipanggil Nina ini.
baca juga: 5 Buku Parenting Best Seller untuk Membesarkan Anak Hebat
Tidak Semua Orang Dewasa Mampu Mengatur Emosi
Sebelum membahas lebih jauh mengenai emosi, Anda perlu paham bahwa emosi terbagi menjadi 2, yaitu emosi negatif dan positif. Rasa senang, tangisan bahagia, bersemangat, dan penuh kedamaian, merupakan beberapa contoh emosi positif. Sementara contoh dari emosi yang negatif, diantaranya sedih, marah, kesal, jengkel, merasa bersalah, dan sebagainya.
Menurut Nina, pada orang-orang dewasa tertentu, kemampuan untuk mengatur emosi tersebut belum betul-betul terbentuk. “Walaupun secara usia ia sudah dewasa, tapi belum tentu mampu mengatur emosi dengan baik.
Pada orang yang emosinya sudah ‘matang’, sebetulnya emosi-emosi itu akan lebih teratur, lebih teregulasi. Nah, ketika seseorang belum benar-benar mampu mengatur emosi negatif di diri sendiri, maka akan bisa berefek buruk pada parenting, pada penanganannya ke anak-anak,” ucap Nina.
Dampak Dari Emosi Negatif Pada Anak
Anak merupakan peniru ulung. Itulah mengapa biasanya kepribadian dan kebiasaan orang tua akan diikuti oleh sang anak. Dalam hal ini, bisa ditarik benang merah, bahwa anak dari orang tua pemarah, nantinya dapat menjadi seseorang yang mudah marah pula. Tapi, ternyata tidak begitu.
Nina menjelaskan, memang benar ketika orang tua sedang kesal dan langsung ‘meledak’, maka anak jadi berpikir bahwa itulah cara meluapkan emosi. Kemudian, anak akan meniru perilaku orang tua tersebut. Anak akan mendapatkan contoh yang kurang baik bagaimana cara menangani emosi. Namun, tak semua anak yang sering melihat orang tuanya marah akan menjadi pemarah.
“Anak memang bisa ikut menjadi pemarah, tapi dia bisa juga menjadi depresi. Akan muncul perasaan sedih, tidak berharga, tidak disayang, dan tidak dibutuhkan pada anak karena terus-menerus disalahkan, dimarahi, dan dianggap buruk oleh orang tua.
Hal tersebut justru tidak memunculkan emosi marahnya, tapi emosi sedihnya yang lebih dominan. Nah, anak yang depresi ini bisa saja terlihat baik-baik dari luar, tapi ternyata (setelah dilakukan tes psikologis) dalamnya tidak baik seperti kelihatannya,” ungkap psikolog yang praktek di Klinik Terpadu UI, Depok, ini.
Jadi, selalu ada kemungkinan kontinum untuk dua hal tersebut, yaitu anak menjadi ikutan pemarah atau depresi akibat dampak buruk dari kemarahan orang tua yang terus-menerus. Nina menceritakan pula kasus yang pernah dihadapinya, yaitu menangani kasus perempuan dewasa dengan keluhannya sering memukul anak.
Overall anaknya terlihat oke sekali, malah terlihat pintar. Di usia 4 tahun, anak itu sudah bisa pipis sendiri, mandi sendiri, makan sendiri. Keren, ya, dibandingkan sebagian besar anak sebayanya. Tapi, ternyata perbuatan baik yang ia lakukan tujuannya agar bisa terhindar dari kemarahan orang tuanya.
Kesannya bagus, tapi kalau orang tuanya terus-menerus tidak bisa mengontrol emosinya, kebaikan pada anak akan sia-sia. Karena, nanti lama-lama anak jadi berpikir bahwa usahanya sia-sia. Dia berusaha sebaik apapun tetap tidak dihargai oleh orang tuanya sehingga dapat membuatnya depresi.”
Baca juga: 7 Tips Membuat Anak Pemalu jadi Lebih Berani
Merubah kebiasaan lama, seperti mencoba mengurangi emosi, mungkin akan terasa cukup sulit. Namun jika alasannya demi si buah hati, para calon orang tua pasti mampu melakukannya. Selalu berikan contoh yang terbaik untuk anak, agar ia juga bisa menjadi versi dirinya yang terbaik.